Sleman, Rakyat45.com – Budaya lokal terus dipertahankan di Daerah Istimewa Yogyakarta, salah satunya melalui seni pertunjukan Kethoprak yang kali ini menampilkan cerita berlatar masa penjajahan Jepang.
Pementasan ini mengangkat kebijaksanaan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dalam melindungi masyarakat Yogyakarta dari kerja paksa (romusha) yang dilakukan tentara Jepang, serta peranannya dalam membangun Selokan Mataram sebagai strategi bertahan hidup dan menjaga kesejahteraan rakyat.
Kegiatan ini diawali dengan sarasehan bertajuk Roadshow Kesejarahan, di mana para narasumber, seperti ahli sejarah dari Universitas Gadjah Mada, Julianto Ibrahim, serta Benni Sudjendro, mantan Carik Desa Margodadi, dan Dukuh Sukaryanto, berbagi cerita dan perspektif sejarah.
Dengan dipandu oleh moderator Ibnu Sutopo, mereka mengupas langkah cerdas Sultan HB IX yang berhasil mengubah kerja paksa menjadi pembangunan irigasi bermanfaat bagi rakyat.
Menurut Julianto, Sultan HB IX memahami bahwa penjajah Jepang mengincar sumber daya manusia di Yogyakarta untuk dijadikan tenaga romusha. Demi melindungi rakyatnya, Sultan HB IX berhasil meyakinkan tentara Jepang agar masyarakat Yogyakarta tidak dipekerjakan di luar wilayahnya.
Sebagai gantinya, mereka diarahkan membangun Selokan Mataram, sebuah proyek irigasi yang mengaliri sawah-sawah di Yogyakarta, sekaligus menjadi strategi untuk memenuhi kebutuhan pangan tentara Jepang.
Pertunjukan Kethoprak ini membawa penonton ke masa sulit penjajahan, menggambarkan penderitaan rakyat akibat kekejaman kerja paksa. Namun, dengan kebijaksanaan Sultan HB IX, penderitaan tersebut berkurang berkat pengalihan kerja paksa menjadi pembangunan Selokan Mataram.
Pertunjukan yang digelar di Dusun Pete, Kalurahan Margodadi, Kapanewon Sayegan, pada Jumat (8/11/2024) malam ini menarik minat warga dari berbagai usia dan latar belakang.
Selokan Mataram sendiri dibangun pada tahun 1942-1944 dengan panjang 30,8 km, menghubungkan Sungai Progo di barat dan Sungai Opak di timur. Saluran ini, yang oleh Jepang disebut Gunsei Hasuiro, mengairi lebih dari 15.000 hektar sawah, memberikan kontribusi besar bagi pertanian di Yogyakarta dan menjadi warisan sejarah yang tak ternilai.
Dinas Kebudayaan DIY melalui perwakilannya menegaskan bahwa seni pertunjukan Kethoprak menjadi salah satu cara untuk mensosialisasikan sejarah kepada masyarakat, terutama generasi muda.
“Kami berharap melalui pertunjukan seperti ini, masyarakat semakin memahami perjalanan sejarah dan kedaulatan Yogyakarta yang penuh perjuangan,” ungkapnya.
Kegiatan ini turut dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat dan pemerintah, seperti perwakilan dari Dinas Kebudayaan DIY, Dinas Kebudayaan Sleman, Panewu Sayegan, Forkopimcam Sayegan, dan jajaran pemerintah desa di Kalurahan Margodadi.
Pementasan ini menjadi bukti nyata bagaimana seni dan sejarah bisa dipadukan untuk menghidupkan kembali nilai-nilai luhur yang ditinggalkan oleh Sultan HB IX, sekaligus memperkuat kebanggaan akan warisan budaya lokal yang terus dilestarikan di Yogyakarta.